Covid19 dan Kehidupan Ini

Dua tahun kemudian, setelah postingan terakhir.

Hai semuanya apa kabar? Sehat? Semoga semua sehat ya. Lagi ada waktu aja buat nulis, update kehidupan soal pervirusan yang sedang melanda dan kaitannya dengan kehidupan gue. Covid19 ini nggak main-main. Merubah banyak tatanan kehidupan duniawi, dalam dan luar negri, seluruh dunia. Mulai dari sektor kehidupan yang jauh sama gue, sampai yang dekat. Bulutangkis misalnya. Sejak awal 2020 gue udah mulai ketar-ketir liat berita virus ini di China. Tapi belum gimana-gimana, gue bahkan masih liputan empat negara, Indonesia Masters dan Thailand Masters (Januari), Badminton Asia Team Championships di Filipina (Februari) dan All England di Inggris (Maret).

Mengawali liputan di Bangkok gue udah lumayan degdegan. Udah mulai pakai masker kemana-mana. Orang-orang waktu itu melihat gue dengan cukup “aneh” dan bilang, virusnya jauh bok di China. Santai aja, nggak usah takut. Gue ngobrol sama temen gue wartawan Jepang. Gue bilang waktu itu, apakah ini konspirasi Amiriki untuk senjata pemusnahan manusia (khayalan gue loh ini), apakah ini virus yang disemprotkan oleh perusahan penjual vaksin kaya di film-film, macem-macem lah pikiran mengawang-awang gue waktu itu.

Bulan Januari, Covid19 sudah semakin menggeliat dan merambah ke negara lain, nggak cuma di China aja. Kalau nggak salah Thailand jadi negara pertama yang punya kasus Covid19 ini (cmiiw). Gimana nggak stress coba kan. Sama temen gue yang sekolah di Bangkok akhirnya gue disuruh menghindari tempat-tempat wisata, terutama yang banyak orang Chinanya, kaya Grand Palace dll. Tapi kalau jalan-jalan tipis-tipis mah boleh lah. Asal jangan yang rame-rame aja.

Saat itu gue jujur mulai rasis (apakah ini bisa disebut rasis atau parnoan aja). Di Thailand turis China itu banyak banget. Pas jalan, kalau denger orang ngomong bahasa China, reflek menghindar, takut mereka warga Wuhan yang lagi tamasya, tapi nggak nyadar ditemplokin virus.

Apalagi monmaap nih bukannya gimana-gimana tapi ya kenyataan. Mereka kan kalau ngomong agak nggak santai yaa, dan suka hujan lokal bok. Kalau virus ikut mancrut kan tante jadi takut.

Di situ gue juga udah panik, aduh gimana nih kalau virus mulai nyebar dan gue harus liputan. Aduh ini segawat apa sih situasinya. Terus semacam nggak percaya gitu, masa sih Indonesia yang seluas apaan tau dan banyak turis dari mana-mana belum ada virus. Bener nggak nih? Spontan gue curhat sama bos gue di whatsapp. Resah dan gelisah gue sampaikan serasional mungkin. Untungnya beliau paham jiwa mudaku yang berapi-api ini, dan beliau menenangkan diriku yang panikan ini.

Alhamdulillah liputan di Thailand aman, damai, sentosa. Pulang deh.

Masuk ke bulan Februari, kisruh percovidan makin menjadi-jadi di berbagai negara. Indonesia sendiri saat itu sangat PD nggak ada kasus (terkonfirmasi secara resmi baru bulan Maret) tapi entah kenapa naluri mama laurent gue mengatakan udah ada (udah ada deh kayanya) dari sebelum bulan Maret itu di Indonesia.

Gue bersama tim besar bulutangkis Indonesia dijadwalkan tanding beregu Asia di Manila. Makin hari jantung gue makin kaya mau copot. Tapi tim dokter Pelatnas mencoba mengantisipasi. Satu tim dibekali masker dan hand sanitizer saat itu. Protokol kesehatan juga mulai dikenalkan ke semua tim. Nggak boleh pegang pegangan eskalator, hindari memencet lift (terus kalo sendiri siapa yang mencet? wkwk), harus pake masker dan hand sanitizer, bla bla bla.

Filipina sendiri gue rasa cukup sigap menanggapi kasus Covid19 ini. Pertandingan bulutangkis diputuskan tanpa penonton untuk menghindari keramaian, masuk hotel udah cek suhu dan antri panjang, pemeriksaan juga dilakukan di arena pertandingan. Repotnya kalau abis jalan dari luar hotel, panas-panasan, terus pas cek suhu kedeteksi demam, kan mamam tuh ya.

Oh iya, Century Park Hotel, tempat kami menginap, sama hall pertandingannya, Rizal Memorial Sport Complex jaraknya cuma 200 meteran. Kalau jalan cuma 3 menit. Kalau Lalu Muhammad Zohri mungkin cuma 10 detik kali. Tapi demi keamanan pervirusan, kita nggak boleh jalan kaki, harus pakai bus. Rasanya kek mana cobak sih. Naik manjat-manjat bus bawa gembolan, baru sak crut, eh turun lagi gitu loh. Agak kocak, tapi demi keamanan hidup, cuss lah ya.

Wait. Selain drama liputan, sebelum berangkat juga gue agak drama karena anak gue dirawat 5 harian di rumah sakit. Udah parno aja Ya Allah kenapa lagi musim virus gini anak harus sakit heu. Ternyata infeksi bakteri, no virus, aman alhamdulillah. Mamak bisa tenang liputan. Walaupun tetep melengos ya rasanya. Untungnya kupunya support system yang masya Allah, bersyukur banget punya mereka semua. Luvvvvv.

Liputan di Manila alhamdulillah aman dan lancar dan juara. Tapi nggak bisa tenang begitu aja, karena gue langsung kepikiran jadwal turnamen berikutnya. All England. Hadeuuh nggak abis-abis ya kepanikan dalam hidup ini.

Tanggal 2 Maret, Presiden secara resmi mengumumkan kasus pertama Covid19 di Indonesia. Hidupku serasa dagdigdug dweeeerrr, penderita pertama berada di Provinsi yang sama kaya gue. Tapi lega juga karena akhirnya kedeteksi di Indonesia. Daripada adem ayem padahal nggak jelas, bikin jantung tante berasa melorot ke lutut.

Tim bulutangkis masih nunggu kabar dari BWF, apakah All England bakal dicancel atau gimana. Semua serba nggak pasti. Padahal pesan hotel dan tiket itu pakai duit. Dan kalau udah dibayar, dalam beberapa situasi, duit nggak bisa kembali, hilang begitu aja. Gue akhirnya tetap mengamankan hotel dan tiket setelah capcipcup kembang kuncup dan diskusi sama bos gue.

German Open di Mulheim yang dijadwalkan seminggu sebelum All England udah diumumkan suspended. Gue waktu itu jadwalnya liputan All England sama Swiss Open. Jujur dalam hati gue berdoa, cancel aja gitu kek ya. Mana Eropa kan waktu itu lagi heboh-hebohnya kasus Covid19. Itu sih harap-harap babu aja ceritanya. Masalah teknis dan perhitungan segala-galanya kan pasti udah ada yang mikirin. Jadi ya ikut aja pada akhirnya mah.

Ternyata BWF mengumumkan lanjuuut untuk All England. Tim Indonesia juga dipastikan meluncur ke Birmingham. Kalau udah gini, gue yang remah-remah nasi kering di pinggir rice cooker masak iya nggak mau jalan liputan. Bismillah, mencoba meyakinkan diri.

Terus-terus. Pas mau berangkat ke bandara, entah kenapa ada yang berbeda. Biasanya jadwal pesawat gue itu pas jam tidur anak gue. Jadi biasanya gue udah sounding seminggu sebelum jalan, dan sebelum dia tidur gue pamit, peluk, cium, udah deh berangkat. Alhamdulillah nggak drama gimana-gimana. Nah jeng jeng jeng, jadwal flight gue kali itu malem, jadi sore lah jalan dari rumah. Anak gue pastinya masih on dong jam segitu, main-main. Sempet maju mundur, gue mau cabut ke bandara diem-diem kabur atau pamit nih ya.

Tapi hati gue saat itu kaya nggak tenang. Entah firasat apa gimana, akhirnya gue putuskan untuk pamit. Nggak apa-apa nangis sebentar, yang penting dia tau gue berangkat. Kalaupun gue ditakdirkan nggak ketemu lagi setelah perjalanan itu (karena pervirusan ini), jadi nggak ada rasa yang mengganjal nantinya. Serius gue terpikir sejauh itu. Anak gue nangis sebentar, tapi abis itu yaudah, ngerti kalau gue kerja. Tinggallah gue yang meratap-ratap sedih, nggak tau kenapa hati nggak tenang saat itu.

Seiring berjalannya waktu, beberapa turnamen mulai diumumkan statusnya. Entah suspended, entah cancel. Nasib turnamen akan berjalan ke arah mana, mulai mengambang-ambang.

Di Birmingham, surprisingly suasananya selow-selow aja. Nggak ada tuh yang pakai masker, jaga jarak, menghindari perkumpulan, atau apalah itu. Yang ada peluk-pelukan, gandengan, berkehidupan normal aja. Panitia gue tanyain juga bilang, bahwa nggak ada yang berbeda, kecuali ditaruhnya hand sanitizer di beberapa tempat umum.

Gue? Wah monmaap nih. Nggak bisa santai anaknya. Full pakai masker, nggak mau pegang-pegang, jaga diri sebisa mungkin. Breakfast di hotel aja degdegan, takut terkontaminasi petugas hotel atau tamu lainnya gitu. Orang-orang memandang gue aneh. Gue tau itu. Bahkan nggak jarang mereka bisik-bisik pake bahasa Inggris yang ngomongin gue. Bok, gini-gini gue paham dikit lah bahasa Inggris walaupun bahasa I understand-You understand kan.

Ada juga orang mabok yang bilang, “corona viruuuuus,” sambil nunjuk-nunjuk gue. Ada ibu-ibu yang narik anaknya biar nggak deket-deket gue pas di kasir supermarket, terus anaknya nanya ke nyokapnya, kira-kira begini bahasa betawinya “Dia bawa virus corona ya mak?” Hufte. Belom lagi yang sengaja pura-pura bersin dan batuk di depan muka gue, sambil ketawa-ketawa, ngerjain gue. Bodo amat woi, bodo amat lo mau ngapain. Gue mau pake masker suka-suka gue lah.

Hih kesel. Waktu itu instruksi pakai masker memang hanya untuk orang sakit. Masalahnya yang sakit pada nyadar pake masker ga? Soalnya di sana gue banyak liat yang batuk-batuk sembarangan, srat-srot srat-srot buang hingus sembarangan. Stress lah pokoknya di sana. Padahal menteri kesehatan Inggris sono, udah positif Covid19. Kok bisa pada selow ya mereka. Heran.

Dari Birmingham gue memantau perkembangan di Indonesia. Dagdigdug. Terus dikabari kalau Swiss Open batal, jadi dari Birmingham kita langsung pulang. Awalnya bos gue mengarahkan gue untuk liputan Sirnas Purwokerto sebagai pengganti nggak liputan Swiss Open.

Karena banyak anak Pelatnas yang gagal tanding di awal tahun, akhirnya dialihkan ke Purwokerto. Tapi hari berganti, perkembangan Covid19 semakin mengkhawatirkan. Setelah tim PBSI, panitia dan berbagai orang yang berkaitan rapat, diputuskan Sirnas Purwokerto dibatalkan. Beberapa turnamen dalam negri juga satu per satu cancel.

Isu karantina atau isolasi mandiri mulai berhembus, sampai akhirnya dua hari sebelum pulang, CDM tim gue bilang wajib karantina bagi semua tim Indonesia, sepulang dari Inggris ini. Dari bandara langsung cuss ke Pelatnas, tidur di Wisma Ancora, asrama atlet.

Rontoklah jiwa ini rasanya. Sembilan hari dinas akan ditambah 14 hari karantina. Dua puluh tiga hari nggak ketemu anak, suami dan keluarga. Sejujurnya cukup down saat itu. Ini merupakan pisah terlama gue dan keluarga.

Gue ditelfon sama dokter Pelatnas. Gue diskusi mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa gue lakukan. Dokter mengharuskan gue tetap karantina di asrama, karena anak gue masih kecil, 2 tahun. Akan susah kalau disuruh jaga jarak. Liat gue pulang habis liputan udah pasti nemplok lah dia, nggak mau lepas. Mana ngerti kalau disuruh physical distancing.

Gue telfon suami dan orangtua. Semua mendukung gue untuk karantina. Demi kebaikan bersama. Gue pun sebenernya kepikiran kalau harus pulang dari luar negri dan misalnya ternyata membawa virus untuk orang rumah. Naudzubillah.

Walaupun hati melengos dan langsung berasa hampa, gue coba ikhlas. Sumpah sih rasanya down banget. Karena gue berada di dalam posisi dan situasi yang asing. Situasi yang penuh ketidakpastian. Dan dengan status ODP, orang dalam pemantauan, karena habis berkunjung dari negara dengan kasus Covid19.

To be continued.


Leave a comment