Potret Pendidikan Indonesia

Suasana hari pendidikan belum sepenuhnya hilang dari benak kita. Yap, tepat tanggal 2 Mei kemarin, Indonesia baru saja memperingati hari Pendidikan Nasional. 2 Mei merupakan tanggal lahir dari KI hajar Dewantara, semasa hidupnya mengabdi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun, setelah sekian lama diperingati, ternyata pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berada dalam taraf sempurna. Apakah hal tersebut menjadi motivasi dalam perbaikan di Indoneisa? Bisa iya, bisa tidak. Masih banyak bolong-bolong kekurangan yang harus ditambal satu persatu.

(Foto: google.com)

Ada beberapa permasalahan yang saling berkaitan.

Pertama, dicabutnya UU BHP. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan UU ini inkonstitusiona karena bertentangan dengan UUD 1945 [Antaranews.com].

Putusan ini memang diamini oleh sebagian komponen masyarakat. Karena dianggap sebagai upaya komersialisasi pendidikan.

Namun, apakah ketika UU BHP tersebut dicabut masalah akan selesai? Tidak. Karena dunia pendidikan kini harus merumuskan kembali sistem apa yang tepat untuk  digunakan. Dunia pendidikan di Indonesia bisa jadi malah kehilangan arah. Lalu bagaimana tindakan pemerintah saat ini? Pemerintah tengah menggodok Perpu Pengganti BHP. Tapi belum apa-apa, beberapa elemen masyarakat sudah menyampaikan penolakannya.

Kedua, realisasi anggaran pendidikan 20% yang murni digunakan untuk kegiatan pendidikan (tidak termasuk gaji guru). Saat ini anggaran pendidikan memang sudah mencapai 20%. Namun, hingga kini anggaran tersebut termasuk untuk gaji guru. Sementara persentase gaji guru bisa mencapai 6%-7%. Jika dihitung-hitung, maka alokasi tersebut cukup besar dan mempengaruhi anggaran pendidikan.

Untuk itu, seharusnya pemerintah benar-benar merealisasikan 20% anggaran pendidikan yang murni tanpa potongan apapun. Sehingga pemerataan pembangunan dan fasilitas pendidikan bisa menyentuh seluruh institusi pendidikan. Karena tidak dipungkiri, fasilitas cukup menunjang kegiatan pendidikan selama ini.

Ketiga, sertifikasi guru. Hal ini juga mau tidak mau berpengaruh dalam proses pendidikan di Indonesia. Kemampuan guru dalam menyampaikan materi juga mempengaruhi tingkat pemahaman para siswa. Sehingga dibutuhkan akreditasi guru yang mengajar.

Keempat, ujian nasional (UN) bukan sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan siswa. Institusi pendidikan di daerah pelosok tentu lebih berat menerima kebijakan angka standar kelulusan yang terus meningkat. Sementara pada proses belajar, mereka tidak mengalami kemajuan. Fasilitas minim, guru terbatas (bahkan kadang masuk-kadang tidak), akses yang masih sulit.

Tentu angka atau nilai standar dibutuhkan untuk mengetahui kompetensi yang berhasil dilalui oleh siswa. Angka tersebut juga bisa dijadikan acuan dalam melihat kondisi pendidikan. Namun jika ujian nasional disamaratakan akan menjadi sangat tidak adil. Mengapa? Karena kondisi kegiatan belajar-mengajar di pedalaman dan pusat kota sangat berbeda. Siswa di pusat kota bisa saja mendapatkan guru terbaik, fasilitas cukup, ditambah dengan suplemen les dan bimbingan belajar. Sementara kondisi di pedalaman, guru yang masuk tiap hari belajar saja sudah untung. Fasilitas kurang, dan sebagainya.

Untuk itu, program pemerintah di bidang pendidikan seharusnya benar-benar mempertimbangkan segala sisi. Jangan hanya mengejar kuantitas tetapi utamakan kualitas. Nyatanya? Saat ini tidak sedikit sekolah yang pasrah terhadap ujian nasional, mengejar target kelulusan dengan berbagai cara. Hasilnya, tercatat banyak pelanggaran dalam pelaksanaan UN.

(Foto: google.com)

Kalau begitu, apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai sepenuhnya? Atau bahkan menjadi bumerang?

Persentase kelulusan pun menurun. Jika dibandingkan dengan 2009 yang persentase kelulusannya mencapai 93,74 persen, maka persentase kelulusan tahun ini mengalami penurunan sebesar 3,86 persen menjadi 89,88 [Tempointeraktif.com].

Memang, segala permasalahan yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tetapi juga semua komponen masyarakat. Segalanya ada ditangan kita masing-masing. Apakah kita mau turut menyumbangkan perubahan atau hanya penanti perubahan.

Lets doing something!!

SEMANGAT Untuk Negeri!!

=)


10 thoughts on “Potret Pendidikan Indonesia

  1. Great story! Lots of work went into this one. I appreciate that. I see so many story with little content. Come check out my story and let know what you think…

  2. “Satu solusi lebih baik dari seribu kutukan terhadap masalah.”

    Kalau solusi dari saya sih sebaiknya status ‘tidak lulus’ itu dihapuskan saja. Karena itu tidak konstruktif. Lagipula, apakah bangsa ini rugi jika ada siswa pintar tapi tidak lulus UN yang masuk universitas? Tidak toh, karena hasil UN pun terkadang tidak representatif. Tujuan UN kan juga untuk memetakan, mengapa harus menghambat masa depan siswa dengan status ‘tidak lulus’?

    1. saya sepakat. seharusnya UN bukan menjadi momok bagi para siswa, dan bukan menjadi penghambat bagi mereka untuk meneruskan pendidikan.
      UN memang masih dinilai tidak representatif jika harus menjadi satu-satunya syarat kelulusan..

  3. betul, betul, tinjauan yang menarik..karena kalau UN menjadi dasar kelulusan itu melanggar UUGD yang menyatakan bahwa guru memiliki kewenangan menilai dst.

    1. With my pleasure, sist.
      But please write down the source. To appreciate an idea of writer (me :D) Thanks

Leave a reply to lailiysblog Cancel reply